Desa KUMEJING


Dermaga Desa  Kumejing

       Kumejing adalah sebuah desa yang terletak di Kecamatan Wadaslintang, Kabupaten Wonosobo, Jawa Tengah, Indonesia. Di sebelah utara, Desa Kumejing berbatasan dengan Desa Lancar, sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten Kebumen, sebelah timur berbatasan dengan Waduk Wadaslintang, dan sebelah selatan berbatasan dengan Desa Kaligowong dan Kabupaten Kebumen.

Desa Kumejing terbagi menjadi beberapa dusun. Diantaranya :
  1. Dusun Brondong
  2. Dusun Silulang
  3. Dusun Kedung Bulu
  4. Dusun Bandung Mulya
  5. Dusun Kiringan
  6. Dusun Rejosari

       Secara geografis, Desa Kumejing terletak di paling ujung barat Kecamatan Wadaslintang, berbatasan dengan Kabupaten Kebumen, itulah yang menyebabkan dialek/percakapan warga desa kumejing hampir sama dengan dialek masyarakat Kebumen (Ngapak).
Seiring dengan perkembangan zaman, Desa Kumejing saat ini tampak lebih maju. Buktinya antara lain :
  1. Listrik masuk desa.
  2. Pembangunan jalan antardesa dan antardukuh. (meskipun masih ada yang kondisinya sangat memprihatinkan)
  3. Sarana pendidikan. (sudah memiliki SMP negeri)
  4. Sarana kesehatan. (POSYANDU)
  5. Kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) meningkat, ditandai dengan meningkatnya jumlah lulusan S1 dan ada pula yang bergelar Master/S2, serta pemahaman masyarakat terhadap islam semakin baik.
  6. Taraf hidup masyarakat meningkat. Misalnya, dulu mayoritas makanan pokoknya adalah thiwul (leye), sementara saat ini warga yang masih makan thiwul bisa dihitung dengan jari.
  7. Meningkatnya Kualitas sandang, papan, dan alat transportasi. Dibuktikan dengan banyaknya rumah gedung lengkap dengan parabola, mobil, dan motor.

Berikut ini daftar Kepala Desa atau Lurah yang pernah memimpin Kumejing (berdasarkan periode) :
  1. Lurah Khoironi ; konon merupakan lurah yang sangat kharismatik dan alim.
  2. Lurah Sastro ; terkenal dengan kecerdasannya dan pandai berpidato.
  3. Lurah Ratmin ; putera dari Lurah Khoironi yang tentunya mewarisi sifat-sifat ayahnya.
  4. Lurah Cholidin ; terkenal dengan keberaniannya. Tidak jarang dia membela rakyatnya ketika sedang berhadapan dengan masalah hukum.
  5. Lurah Wahyu ; pembawaanya kalem (low profile) dan terkenal dengan sifatnya yang trasparan dalam memimpin desa.
  6. Lurah Suratno ; lurah termuda yang energik dan tidak sungkan-sungkan bergaul dengan warganya di sosmed, seperti facebook.

       Menurut sesepuh desa yang disampaikan oleh Pak Kasbari dan alm. Mbah Makno (warga dusun rejosari) mengatakan, nama Kumejing konon diambil dari sebuah nama pohon yaitu pohon komejing. Namun, saat ini pohon tersebut sudah punah. Sebagian warga meyakini bahwa tonggak pohon tersebut masih ada dan kelihatan ketika air Waduk Wadaslintang surut.
Di zaman penjajahan, Desa Kumejing tidak luput dari imperialis Belanda dan Jepang, walaupun tidak separah desa tetangga, yaitu Desa Kaligowong, dimana di Desa Kaligowong banyak rumah warga yang dibakar. Di Kumejing, waktu itu mayoritas di Dusun Trukareja (sekarang bernama Rejosari), penjajah tidak sampai membakar rumah. Namun penduduk harus mengungsi ke ujung barat bagian selatan desa. Menurut Pak Kasbari, sebagian penduduk meninggalkan hewan ternaknya (bebek, ayam, kambing), namun sapi ikut dibawa mengungsi. Pak Kasbari yang dalam beberapa periode menjabat Congkog (istilah sekarang Kadus) masih teringat ketika itu ada warga yang sapinya mati setelah terperosok jurang. Dia juga ingat persis ketika di malam hari kelihatan nyala peluru berseliweran ditembakkan dari utara ke selatan atau sebaliknya.

       Belanda pergi, datanglah penjajah Jepang. Jepang terkenal dengan ketegasan dan kedisiplinannya. Seperti diketahui pada zaman Jepang tiap-tiap desa dibentuk Keibodan dan Seinendan, begitu pula organisasi kaum ibu yang disebut Bujingkai. Semua organisasi diberi kegiatan baris berbaris dan Taeso (olahraga). Ini pun tidak terbatas pada organisasi-organisasi yang ada itu saja, melainkan dari seluruh lapisan rakyat ikut juga berlatih baris dan Taeso. Yang menarik, saat itu Pak Kasbari memperagakan baris-berbaris Jepang, dia memperagakannya dengan baik serta hafal ucapan aba-abanya. Di zaman Jepang, jangan tanya soal makanan dan pakaian. Karena langka dan sulitnya makanan, rakyat banyak yang makan dari bahan makanan yang seharusnya dimakan hewan, misalnya keladi gatal, umbi-umbian, sagu (dari batang pohon aren), bahkan menurut cerita ada yang memarut pohon pepaya untuk dimakan. Untuk pakaian, ada yang memakai karung goni (karung yang sekaranng sering digunakan untuk lomba balap karung). Pakaian dari bahan kain nilon ketika itu sudah sangat bagus.

       Walaupun desa terpencil, nyatanya Kumejing tak pernah lepas dari huru-hara politik, sejak Belanda, Jepang, AOI hingga PKI. Mengenai AOI (Angkatan Orang Islam) penulis banyak mendapat cerita menarik dari alm. Mbah Kyai Muhdi, Kyai yang dulunya tinggal di dukuh Kiringan (selatan sungai, sekarang tenggelam oleh air waduk), kemudian pindah ke Rejosari memimpin masjid Jami'atul Muslimin.

       Awal tahun 80-an , Proyek Pembangunan Waduk Wadaslintang dimulai. Pembayaran ganti rugi tanah yang nilainya jelas sangat murah sekitar tahun 1983. Setelah itu gelombang transmigrasi dimulai. Bagi yang tidak punya lahan atau lahannya habis terkena proyek, transmigrasi merupakan solusi yang tepat. Sementara yang masih memiliki lahan cukup, memilih menjadikan sisa lahan mereka sebagai kampung. Perpindahan kampung pun terjadi. Sebagian besar warga Trukareja Barat naik ke ladang mereka yang sekarang menjadi dukuh Rejosari, sementara Trukareja Timur banyak yang ke Bandung Mulya dan sebagian lainnya pindah ke Kiringan, Kedung Bulu atau wilayah lain. Sebaliknya, ada pula warga Kedung Bulu, Bandung Mulya, dan kiringan pindah ke Rejosari.

       Perpindahan saling-silang seperti di atas belum terlalu terasa dampaknya. Antarwarga masih bisa saling berkunjung dengan berjalan kaki. Namun ketika Bendungan Wadaslintang dinyatakan selesai (diresmikan tahun 1987) dan pintu air bendungan ditutup, air pun dengan cepat naik dan menggenangi lahan-lahan pertanian dan bekas rumah mereka. Bahkan ada seorang warga yang sawahnya tiba-tiba terendam air ketika belum sempat dipanen. Akibat naiknya air, untuk sementara komunikasi warga bagian utara dan selatan tersendat dan baru ramai kembali setelah orang-orang berani naik dayung, terlebih setelah adanya perahu. Dalam periode ini, tercatat banyak musibah menimpa warga khususnya warga tenggelam, mulai daerah pangkal hingga ujung bendungan (Gemenggeng, Sumbersari, Plunjaran, Tritis, Kaliasat, Kiringan, Trukareja, Bandung Mulya hingga Kedung Bulu). Penyebabnya antara lain: jatuh ke air saat menginjak batu, jatuh dari dayung, dayung terbalik karena ombak, dll.

Mungkin itu yang bisa saya sampaikan pada postingan pertama di blog ini. SEMOGA BERMANFAAT.
MAJU TERUS KUMEJING…..

sumber : wikipedia

Related Posts:

4 Responses to "Desa KUMEJING"

  1. Aku dulu pernah ke kumejing, jalannya susah bgt dilewati. apa sekarang masih susah ya?

    BalasHapus
    Balasan
    1. masih mas, walaupun sudah ada jalan yang diperbaiki, tetap saja akses jalan ke desa kumejing itu masih sulit.

      Hapus
  2. Di kumejing masih sering ada kuda lumping ngga ya?

    BalasHapus
  3. @ayu dian. masih,, di kumejing masih sering ada kuda lumping. biasanya jika ada wisatawan, mereka disambut dengan kuda lumping.

    BalasHapus

Terimakasih atas ketersediaan anda membaca artikel ini.
jangan lupa tinggalkan komentar, komentar anda sangat berarti bagi kemajuan situs ini.
(budayakan berkomentar dengan bahasa yang sopan)
- ACHMAD KHOERON -